Minggu, 31 Oktober 2010

MAKALAH WARGA NEGARA INDONESIA

Kata Pengantar
Assalamualaikum wr.wb
Dengan mengucap Syukur Alhamdulillah. Bahwasanya kami dapat membuat maklah iniwalaupun tidak sedikit hambatan dan kesulitan yang saya hadapi, tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan

1. Pengertian Warga Negara

Warga Negara diartikan dengan orang-orang sebagai bagian dari suatu penduduk yang menjadi unsur negara. Istilah ini dahulu biasa disebut hamba atau kawulanegara. Istilah warga Negara lebih sesuai dengan kedudukannya sebagai orang merdeka dibandingkan dengan istilah hamba atau kawulanegara, karena warganegara mengandung arti peserta, anggota atau warga dari suatu negara, yakni peserta dari suatu persekutuan yang didirikan dengan kekuatan bersama, atas dasar tanggung jawab bersama dan untuk kepentingan bersama. Untuk itu, setiap warganegara mempunyai persamaan hak dihadapan hukum. Semua warga negara memuliki kepastian hak, privasi, dan tanggungjawab.

Menurut Koerniatmanto S., warganegara diartikan sebagi anggota negara yang mempunyai kedudukan khusus terhadap negaranya. Ia mempunyai hubungan hak dan kewajiban yang bersifat timbal balik terhadap negaranya.

Menurut UUD 1945 pasal 26, istilah warga negara dimaksudkan untuk bangsa Indonesia asli dan bangsa lain yang disahkan undang-undang sebagai warganegara. Bangsa lain yang bertempat tinggal di Indonesia, mengakui Indonesia sebagai Tanah airnya dan bersikap setia kepada Negara Republik Indonesia dapat menjadi warganegara.

2. Unsur-Unsur yang Menentukan Kewarganegaraan

a. Unsur darah keturunan

Kewarganegaraan dari orang tua yang menurunkannya menentukan kewarganegaraan seseorang, artinya kalau orang dilahirkan dari orang tua yang berwarganegara Indonesia, ia dengan sendirinya juga menjadi warganegara Indonesia. Prinsip ini sekarang juga berlaku diantaranya di Inggris, Amerika, Perancis dan Jepang.

b. Unsur daerah tempat kelahiran

Daerah tempat seseorang dilahirkan menentukan kewarganegaraan misalnya, kalau orang dilahirkan didalam daerah hukum Indonesia, ia dengan sendirinya menjadi warganegara Indonesia. Prinsip ini juga berlaku di Amerika, Inggris dan Perancis. Tetapi di Jepang, prinsip ini tidak berlaku karena seseorang yang tidak dapat membuktikan bahwa orang tuanya berkebangsaan Jepang ia tidak dapat diakui sebagai warganegara Jepang.

c. Unsur pewarga negaraan (naturalisasi)

Unsur kewarganegaraan dibagi menjadi 2 yaitu aktif dan pasif. Dalam kewarganegaraan aktif, seseorang dapat menggunakan hak opsi untuk memilih atau mengajukan kehendak menjadi warganegara dari suatunegara. Sedangkan dalam kewarganegaraan pasif, negara yang menawarkan status warganegara pada seseorang. Orang tersebut dapat menerimanya atau menggunakan hak repudiasi, yaitu hak untuk menolak pemberian kewarganegaraan tersebut (Kartasapoerta. 1993: 216-7).

3. Status Kewarganegaraan

a. Apatride yaitu istilah untuk orang-orang yang tidak mempunyai status kewarganegaraan.

b. Bipatride yaitu istilah untuk orang-orang yang memiliki status kewarganegaraan rangkap atau dengan istilah lain dikenal dengan dwi- kewarganegaraan.

c. Multipatride yaitu istilah untuk orang-orang yang memiliki status kewarganegaraan dua atau lebih.

4. Hak dan Kewajiban Warga Negara

Hak dan kewajiban warganegara Indonesia tercantum dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 UUD 1945. Beberapa hak dan kewajiban tersebut antara lain sebagai berikut.

Hak warganegara antara lain:

1. Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 berbunyi

Tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”

2. Hak membela negara. Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 berbunyi: “Setiap warganegara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.”

3. Hak berpendapat. Pasal 28 UUD 1945, berbunyi: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan piikiran dengan lisan, dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”

4. Hak kemerdekaan memeluk agama. Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 berbunyi: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”

5. Hak untuk mendapatkan pengajaran. Pasal 31 ayat (1) dan (2) UUD 1945.

Ayat (1) berbunyi: “Tiap-tiap warganegara berhak mendapat pengajaran.”

Ayat (2) berrbunyi: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan UUD 1945.”

6. Hak untuk mengembangkan dan memajukan kebudayaan nasional Indonesia. Pasal 32 ayat (1) berbunyi: “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah perdaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.”

7. Hak ekonomi atau hak untuk mendapatkan kesejahteraan sosial. Pasal 33 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5) UUD 1945 berbunyi:

(1) “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarasas kekeluargaan.”

(2) “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.”

(3) “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.”

(4). “Perekonomian nasional diselengggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”

(5). “Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.”

8. Hak mendapatkan jaminan keadilan social. Pasal 34 UUD 1945 berbunyi: “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.”

Kewajiban warganegara antara lain:
Kewajiban menaati hukum dan pemerintahan. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 berbunyi: “Segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Kewajiban membelanegara. Pasal 27 ayat (3) UUD 1945 berbunyi; “Setiap warganegara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.”
Kewajiban dalam upaya pertahanan negara. Pasal 30 ayat (1)  UUD 1945 berbunyi: “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.”

Disamping adanya hak dan kewajiban warga negara terhadap negara, dalam UUD 1945 perubahan pertama telah dicantumkan adanya hak asasi manusia. Ketentuan mengenai hak asasi manusia ini merupakan langkah maju dari bangsa Indonesia untuk menuju kehidupan konstitusional yang demokratis. Ketentuan mengenai hak asasi manusia ini tertuang padaPasal 28 Asampai J UU D 1945.

SEJARAH RINGKAS PERPAJAKAN DI INDONESIA

A. SEJARAH AWAL

Pada masa kerajaan dahulu telah ada pungutan seperti pajak. Namun, pungutan seperti itu dipersembahkan kepada raja sebagai wujud rasa hormat dan upeti kepada raja, yang disampaikan rakyat di wilayah kerajaan maupun di wilayah jajahan, figur raja dalam hal ini dapat dipandang sebagi manifestasi dari kekuasaan tunggal kerajaan (negara).
Salah bukti tertulis tentang Telah adanya pajak di Indonesia jauh sebelum Adam Smith menulis buku The Wealth of Nations. (1776) dan sekaligus membuktikan bahwa “raja-raja Jawa” telah mengenal dan memanfaatkan fungsi regulerend pajak yakni adanya pembahasan pajak(tax holiday). Adalah penemuan prasasti pada permulaan tahun 1992 di suatu desa d bojonegoro, jawa timur . temuan tersebut berupa 17 lempengan tembaga berukuran panjang 37,5 cm,lebar 12 cm dan tebal 0,4 cm., dan merupakan piagam yang di keluarkan oleh raja Majapahit pert6ama, yakni Kertarajasa Jayawardhana pada tahun 1301 Masehi. Pagam tersebut berisikan pembebasan pajak sebuah desa yantg bernama Adan-Adean. Desa itu ditetapkan sebagai desa perdikam yang bebas pajak dan diberikan kepada Rajarsi, yakni pejabat yang telah berjasa kepada raja dan Negara.
Secara jelas dalan prasasti terseburt tertulis mengapa desa Adan-ADan dibebaskan dari pajak Negara. Pertama karena Rajarsi telah berjasa kepada raja di saat raja mendapat kesusahan. Kedua, Rajarsi dan seluruh desa Adan-ADan memperlihatkan laku bakti dan susila di saat raja sedang menerima penderitaan. Terakhir, Rajarsi dan rakyatnya telah menjalankan ibadah agama dengan baik.

B. ZAMAN HINDIA BELANDA
Dewasa ini hamper seluruh Negara di dunia telsh mengakui bahwa pajak dari waktu ke waktu telah menjadi sumber ytama penerimaan Negara, dan bahwa pajak adalah alat utama untuk membiayai kegiatan pemerintahan . disamping itu, pajak sebagai bagian utama dari kebijakan fiscal (fiscal policy), telah di jadikan pemerintah sebagai alat mencapai tujuan-tujuan di bidang ekonomi, budaya dan social.
Di indonesia, berbagai pungutan baik dalam bentuk natura (payment in kind), kerja paksa maupun dengan uang dan upeti telah lama dikenal. Pungutan dan beban rakyat Indonesia semakin terasa besarnya, terutama sesudah berdirinya VOC tahun 1602, dan dilanjutkan dengan pemerintahan colonial Belanda. Pada zaman Raffles (1813) dikenal pajak bumi (land rent) dan pajak atas rumah. Salah satu beban rakyat yang berat adalah pungutan pada masa kultur stelsel sebagaimana dikemukakan oleh Tobias Soebekti :
The European rulers were driven by theiy need for money to impose heavy levies on the people. The climax was reached with the enforcement of the”culture system” which was introduced by governor General van den bosh in 1830 and which lasted until the end of nineteenth century.”
Sampai awal abad XX, pajak yang di tarik dari penduduk pribumi mencapai sekitar 60% dari keseluruhan penghasilan Hindia Belanda. Pada masaini penduduk Eropa hanya membayar pajak 7% atas pendapatannya, sedangkan penduduk ppribumi mencapai 19-25%. Ini benar-benar merupakan beban yang sangat berat bagi penduduk pribumi. Beban yang di timpakan kepada rakyakyat untuk memberatkan dan sewenang-wenang ini telah mendorong masyarakat untuk melakukan berbagai “evaluasi” terhadap system dan landasan pembenaran pemungutan pajak yang dipaksakan itu. Gugatan terhadap landasan pembenaran pemungutan pajak yang dipaksakan itu. Gugatan terhadap landasan pembenaran pemungutan pajak ini diekspresikan dengan berbagai bentuknya,. Sebagian dan dalam kasus-kasus tertentu telah melahirkan sikap gugatan dan protes yang radikal dan eksplosifseperti pemberontakan, sebagian lain mencari benteuk protes yang lebih moderat sepereti yang dilakukan gerakan Saminisme di Jawa Tengah dan di beberapa daerah lainnya seperti di Banten. Pada masa itu tidaklah berlebihan jika persoalan pajak merupakan seb ab utama gerakan protes para petani dan tempat-tempat lainnya. Menurut perkiraan para ahli sejarah dalam waktu 78 tahun (1830-1908) pemberontakan petani di pulau jawa terjadi lebih dari 100 kali. Salah satu contohnya adalah gerakan Samin yang berlangsung di Jawa Tengah pada permulaan Abad XX pada tahun 1923 dikeluarkan ordonansi yang mengatur pajak verponding sebagai permulaan pajak property secara individu, dikenakan atas orang Eropa yang tercatat sebagai pemilik tanah yang tunduk pada hukum barat, pada tahun 1928, pemerintah menerapkannya pada penduduk Indonesia yang memiliki tanah (urbande land), dimana merupakan tanah adat yang tunduk pada hokum barat..
Sejarah pengenaan Pajak Penghasilan di Indonesia dimulai dengan adanya tenement tax (huistaks) pada tahun 1816, yakni sejenis pajak yang dikenakan sebagai sewa terhadap mereka yang menggunakan bumi sebagai tempat berdirinya rumah atau bangunan. Pada periode sampai dengan tuhun 1908 terdapat perbedaan perlakuan perpajakan antara penduduk pribumi dengan orang Asia dan orang Eropa, dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa terdapat banyak perbedaan dan tidak ada uniformitas dalam perlakuan perpajakan Tercatat beberapa jenis pajak yang hanya diperlakukan kepada orang Eropa seperti “patent duty”. sebaliknya business tax atau bedrijfsbelasting untuk orang pribumi. Di samping itu, sejak tahun 1882 sampai tahun 1916 dikenal adanya Poll Tax yang pengenaannya berdasarkan status pribadi, pemilikan rumah dan tanah.

Pada tahun 1908 terdapat Ordonansi Pajak Pendapatan yang diperlakukan untuk orang Eropa, dan badan-badan yang melakukan usaha bisnis tanpa memperhatikan kebangsaan pemegang sahamnya. Dasar pengenaan pajaknya penghasilan yang berasal dari barang bergerak maupun barang tak gerak, penghasilan dari usaha, penghasilan pejabat pemerintah, pensiun dan pembayaran berkala. Tarifnya bersifat proporsional dari 1%, 2% dan 3% atas dasar kriteria tertentu.

Selanjutnya, tahun 1920 dianggap sebagai tahun unifikasi, dimana dualistik yang selama ini ada, dihilangkan dengan diperkenalkannya General Income Tax yakni Ordonansi Pajak Pendapatan Yang Dibaharui tahun 1920 (Ordonantie op de Herziene Inkomstenbelasting 1920, Staatsblad 1920 1921, No.312) yang berlaku baik bagi penduduk pribumi, orang Asia maupun orang Eropa. Dalam Ordonansi Pajak Pendapatan ini telah diterapkan asas-asas pajak penghasilan yakni asas keadilan domisili dan [[asas sumber]].

Karena desakan kebutuhan dengan makin banyaknya perusahaan yang didirikan di Indonesia seperti perkebunan-perkebunan (ondememing), pada tahun 1925 ditetapkanlah Ordonansi Pajak Perseroan tahun 1925 (Ordonantie op de Vennootschapbelasting) yakni pajak yang dikenakan tethadap laba perseroan, yang terkenal dengan nama PPs (Pajak Perseroan). Ordonansi ini telah mengalami beberapa kali perubahan dan penyempurnaan antara lain dengan UU No. 8 tahun 1967 tentang Psnibahan dan Penyempurnaan Tatacara Pcmungiitan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan tahun 1925 yang dalam praktck lebih dikenal dengan UU MPO dan MPS. Perubahan penting lainnya adalah dengan UU No. 8 tahun 1970 dimana fungsi pajak mengatur/regulerend dimasukkan ke dalam Ordonansi PPs 1925., khususnya tentang ketentuan “tax holiday”. Ordonasi PPs 1925 berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni pada saat diadakannya tax reform, Pada awal tahun 1925-an yakni dengan mulai berlakunya Ordonansi Pajak Perseroan 1925 dan dengan perkembangan pajak pendapatan di Negeri Belanda, maka timbul kebutuhan untuk merevisi Ordonansi Pajak Pendapatan 1920, yakni dengan ditetapkannnya Ordonasi Pajak Pendapatan tahun 1932 (Ordonantie op de Incomstenbelasting 1932, Staatsblad 1932, No.111) yang dikenakan kepada orang pribadi (Personal Income Tax). Asas-asas pajak penghasilan telah diterapkan kepada penduduk Indonesia; kepada bukan penduduk Indonesia hanya dikenakan pajak atas penghasilan yang dihasilkannnya di Indonesia; Ordonansi ini juga telah mengenal asas sumber dan asas domisili.

Dengan makin banyak perusahaan-perusahaan di Indonesia, maka kebutuhan akan mengenakan pajak terhadap pendapatan karyawan perusahaan muncul. Maka pada tahun 1935 ditetapkanlah Ordonansi Pajak Pajak Upah (loonbelasting) yang memberi kewajiban kepada majikan untuk memotong Pajak Upah/gaji pegawai yang mempunyai tarif progresif dari 0% sampai dengan 15%. Pada zaman Perang Dunia II diperlakukan Oorlogsbelasting (Pajak Perang) menggantikan ordonansi yang ada dan pada tahun 1946 diganti dengan nama Overgangsbelasting (Pajak Peralihan). Dengan UU Nomor 21 tahun 1957 nama Pajak Peralihan diganti dengan nama Pajak Pendapatan tahun 1944 yang disingkat dengan Ord. PPd. 1944. Pajak Pendapatan sendiri disingkat dengan PPd. Saja. Ord. PPd. 1944 setelah beberapa kali mengalami perubahan terutama dengan perubahan tahun 1968 yakni dengan adanya UU No. 8 tahun 1968 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tatacara Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan 1925, yang lebih terkenal dengan “UU MPO dan MPS”. Perubahan lainnya adalah dengan UU No. 9 tahun 1970 yang berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni dengan diadakannya tax reform di Indonesia.

C. ERA PROKLAMASI TAHUN 1945-1967


Landasan hukum adalah acuan hukum dasar yang menguatkan dilakukannya suatu kegiatan atau yang melandasi pelaksanaan suatu kebijakan. Ada landasan hukum yang bersumber dari hukum dasar, yaitu UUD 1945.
Official Assessment System,Sistem ini dilaksanakan sampai dengan tahun 1967. Official Assessment System adalah suatu cara pemungutan pajak yang wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada pemungut pajak (fiscus). Dalam hal ini Dirjen Pajak
Ordonansi (pajak yang dikenakan tethadap laba perseroan) telah mengalami beberapa kali perubahan dan penyempurnaan antara lain dengan UU No. 8 tahun 1967 tentang Penisbahan dan Penyempurnaan Tatacara Pcmungutan Pajak Pendapatan 1944.Pada zaman Perang Dunia II diperlakukan Oorlogsbelasting (Pajak Perang) menggantikan ordonansi yang ada dan pada tahun 1946 diganti dengan nama Overgangsbelasting (Pajak Peralihan).
. Ordonansi Rumah Tangga(Stbl.1908 No.13). Aturan Bea Meterai (Stbl 1921 No.498). Ordonansi Bea Balik Nama (Stbl 1924 No 291). Ordonansi Pajak Kekayaan (Stbl 1932 N0.405). Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor (Stbl 1934 No 718). Ordonansi Pajak Upah (Stbl 1934 No.611). Ordonansi Pajak Potong (Stbl 1936 No 671). Ordonansi Pajak Pendapatan (Stbl 1944 No 17). Undang-undang Pajak radio ( UU No 12 Th 1947). Undang-undang Pajak Pembangunan I ( UU No 14 Th 1947). Undang-undang Pajak Peredaran ( UU No 12 Th 1952)

D. ERA TAHUN 1967 – 1983

Reformasi undang-undang perpajakan Th 1983 pemerintah dengan DPR mencabut UU yang ada dan meng-undangkan 5 paket undang-undang perpajakan yang baru, yaitu
1. UU No 6 Th 1983 Ttg Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP)
2. UU No 7 Th 1983 Ttg Pajak Penghasilan (PPh)
3. UUNo 8 Th 1983 Ttg Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM)
4. UU No 12 Th 1983 Ttg Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). 5. UU No 13 Th 1985 Ttg Bea Meterai (BM)
Misal, Undang-undang RI tahun nmr 6 thn 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan :
1. Ordonansi Pajak Perseroan 1925 (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 319) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Ordonansi Pajak Perseroan 1925 (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2940);
2. Ordonansi Pajak Pendapatan, 1944 (Staatsblad Tahun 1944 Nomor 17) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Ordonansi Pajak Pendapatan 1944 (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2941)
3. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1967 tentang Perubahan dan Penyempurnaan, Tata Cara Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932, dan Pajak Perseroan 1925 (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 18, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2827); kecuali ketentuan-ketentuan mengenai tata cara pemungutan Pajak Kekayaan;
4. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1970 tentang Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalti 1970 (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2942)

E. ERA TAHUN 1983 – 2007

Tahun 1994, empat Undang-undang, mengalami perubahan, yaitu :
1. Undang-Undang No 6 Tahun 1983 dengan Undang-undang No 9 Tahunh 1994.
2. Undang-Undang No 7 Tahun 1983 dengan Undang-undang No 10 Tahun 1994.
3. Undang-Undang No 8 Tahun 1983 dengan Undang-undang No 11 Tahun 1994.
4. Undang-Undang No 12 Tahun 1983 dengan Undang-undang No 12 Tahun 1994
Perubahan dan Penerbitan UU pada Thn 1997
1. Undang-Undang No 17 Tahun 1997 Tentangg Badan Penyelesaian Sengketa Pajak
2. Undang-Undang No 18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
3. Undang-Undang No 19 Tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
4. Undang-Undang No 20 Tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak
5. Undang-Undang No 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan.
Alasan Perubahan .
Adanya perkembangan ekonomi dan masyarakat yang terus menerus dan dalam rangka memberikan rasa keadilan dan meningkatkan pelayanan kepada wajib pajak, pada tahun 2000 kembali pemerintah mengadakan perubahan terhadap Udang –undang perpajakan yang dibuat pada th 1983, yang selengkapnya sebagai berikut :
1. Undang-Undang No 16 Tahun 2000 mengenai perubahan atas Undang-Undang No 6 Tahun 1983 sebagaimana telah dirubah dgn UU No 9 th 1994
2. Undang-Undang No 17 Tahun 2000 mengenai perubahan atas Undang-Undang No 7 Tahun 1983 sebagaimana tlah dirubah dgn UU No 10 Tahun 1994
3. Undang-Undang No 18 Tahun 2000 mengenai perubahan atas Undang-Undang No 8 Tahun 1983 sebagaimana telah dirubah dg UU No 11 Tahun 1994
4. Undang-Undang No 19 Tahun 2000 mengenai perubahan atas Undang-Undang No 19 Tahun 1997
5. Undang-Undang No 21 Tahun 2000 mengenai perubahan atas Undang-Undang No 21 Tahun 1997

F. ERA TAHUN 2007 – sekarang

Undang-Undang RI no 28 tahun 2007 perubahan ketiga atas Undang-Undang nomor 6 tahun 1983
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) yang telah beberapa kali diubah dengan Undang-Undang:

a. Nomor 9 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3566);

b. Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3984),
diubah sebagai berikut:
Pasal 1, merupakan penjelasan dari : Pajak, Wajib Pajak, Badan, Pengusaha, Pengusaha Kena Pajak, Nomor Pokok Wajib Pajak, Masa Pajak, Tahun Pajak, Bagian Tahun Pajak, Pajak yang terutang, Surat PemberitahuanSurat Pemberitahuan Masa, Surat Pemberitahuan Tahunan, Surat Setoran Pajak, Surat ketetapan pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, Surat Tagihan Pajak, Surat Paksa, Kredit Pajak, Kredit Pajak, Pekerjaan bebas, Pemeriksaan, Bukti Permulaan, Pemeriksaan Bukti Permulaan, Penanggung Pajak, Pembukuan, Penelitian, Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, Penyidik, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, Putusan Gugatan, Putusan Peninjauan Kembali, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, Tanggal dikirim, dan Tanggal diterima.
Pasal 2,mengenai wajib pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif, Wajib Pajak sebagai Pengusaha dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya, Kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak, dll.
Undang Undang Pajak Penghasilan 2008 resmi diundangkan pada tanggal 23 September 2008 (UU PPh nomor 36 tahun 2008). UU ini mulai berlaku tanggal 1 Januari 2009.
Ada lima beleid penting dalam UU PPh yang baru ini. Kelimanya adalah (1) perubahan jumlah penghasilan tidak kena pajak, (2) insentif bagi sumbangan wajib keagamaan, (3) insentif bagi perusahaan terbuka di bursa efek, (4) insentif bagi usaha mikro, kecil, dan menengah berupa potong tarif hingga 50%, serta (5) beberapa poin penerimaan negara bukan pajak (PNBK) yang bisa menjadi objek pajak.
Berikut pokok-pokok pikiran dalam UU PPh yang baru Ini:
1. Penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh)
Penurunan tarif PPh dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan tarif PPh yang berlaku di negara-negara tetangga yang relatif lebih rendah, meningkatkan daya saing di dalam negeri, mengurangi beban pajak dan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak (WP)
a. Bagi WP orang pribadi, tarif PPh tertinggi diturunkan dari 35% menjadi 30% dan menyederhanakan lapisan tarif dari 5 lapisan menjadi 4 lapisan, namun memperluas masing-masing lapisan penghasilan kena pajak (income bracket), yaitu lapisan tertinggi dari sebesar Rp 200 juta menjadi Rp 500 juta.
b. Bagi WP badan, tarif PPh yang semula terdiri dari 3 lapisan (10%, 15% dan 30%) menjadi tarif tunggal 28% di tahun 2009 dan 25% tahun 2010.
Penerapan tarif tunggal dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan prinsip kesederhanaan dan international best practice. Selain itu, bagi WP badan yang telah go public diberikan pengurangan tarif 5% dari tarif normal dengan kriteria paling sedikit 40% saham dimiliki oleh sedikitnya 300 pemegang saham. Insentif tersebut diharapkan dapat mendorong lebih banyak perusahaan yang masuk bursa sehingga akan meningkatkan good corporate governance dan mendorong pasar modal sebagai alternatif sumber pembiayaan bagi perusahaan.
c. Bagi WP UMKM yang berbentuk badan diberikan insentif pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif normal yang berlaku terhadap bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4,8 miliar. Pemberian insentif tersebut dimaksudkan untuk mendorong berkembangnya UMKM yang pada kenyataannya memberikan kontribusi yang signifikan bagi perekonomian di Indonesia. Pemberian insentif juga diharapkan dapat mendorong kepatuhan WP yang bergerak di UMKM.
2. Bagi WP yang telah mempunyai NPWP dibebaskan dari kewajiban pembayaran fiskal luar negeri sejak 2009, dan pemungutan fiskal luar negeri dihapus pada 2011. Pembayaran fiskal luar negeri adalah pembayaran pajak di muka bagi orang pribadi yang akan bepergian ke luar negeribagi WP yang memiliki NPWP dimaksudkan untuk mendorong WP memiliki NPWP sehingga memperluas basis pajak. Diharapkan pada 2011 semua masyarakat yang wajib memiliki NPWP telah memiliki NPWP sehingga kewajiban pembayaran fiskal luar negeri layak dihapuskan.
3. . Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk diri WP orang pribadi ditingkatkan sebesar 20% dari Rp 13,2 juta menjadi Rp 15,84 juta, sedangkan untuk tanggungan istri dan keluarga ditingkatkan sebesar 10% dari Rp 1,2 juta menjadi Rp 1,32 juta dengan paling banyak 3 tanggungan setiap keluarga. Hal ini dimaksudkan untuk menyesuaikan PTKP dengan perkembangan ekonomi dan moneter serta mengangkat pengaturannya dari peraturan Menteri Keuangan menjadi undang-undang.
4. Penerapan tarif pemotongan/pemungutan PPh yang lebih tinggi bagi WP yang tidak memiliki NPWP.
a. Bagi WP penerima penghasilan yang dikenai pemotongan PPh Pasal 21 yang tidak mempunyai NPWP dikenai pemotongan 20% lebih tinggi dari tarif normal.
b. Bagi WP menerima penghasilan yang dikenai pemotongan PPh Pasal 23 yang tidak mempunyai NPWP, dikenai pemotongan 100% lebih tinggi dari tarif normal.
c. Bagi WP yang dikenai pemungutan PPh Pasal 22 yang tidak mempunyai NPWP dikenakan pemungutan 100% lebih tinggi dari tarif normal.
5. Perluasan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Dimaksudkan bahwa pemerintah memberikan fasilitas kepada masyarakat yang secara nyata ikut berpartisipasi dalam kepentingan sosial, dengan diperkenankannya biaya tersebut sebagai pengurang penghasilan bruto.
a. Sumbangan dalam rangka penganggulangan bencana nasional dan infrastruktur sosial.
b. Sumbangan dalam rangka fasilitas pendidikan, penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia.
c. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga dan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia.
6. Pengecualian dari objek PPh
a. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh lembaga atau badan nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan atau bidang penelitian dan pengembangan yang ditanamkan kembali paling lama dalam jangka waktu 4 tahun tidak dikenai pajak.
b. Beasiswa yang diterima atau diperoleh oleh penerima beasiswa tidak dikenai pajak.
c. Bantuan atau santunan yang diterima dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial tidak dikenai pajak.